Gawat !!! Cadangan minyak nasional dikabarkan kian minipis. Melansir dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) , diketahui bahwa dalam 10 dekade terakhir, cadangan minyak yang ada untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri kian menurun. Bahkan berdasarkan data terbaru dalam 5 tahun terakhir (sebelum 2022), tepatnya 2017-2021, terjadi penurunan grafik yang siginifikan, dimana yang sebelumnya terhitung 7,53 juta barel minyak menjadi 3,95 juta barel, dengan 2,25 juta barel adalah cadangan minyak yang terbukti benmar benar ada dan siap digunakan, sedangkan sisanya adalah cadangan minyak potensial. Hal ini tentu saja, sangat memprihatinkan, mengingat kebutuhan minyak dalam negeri sangatlah tinggi. Bahkan, meninjau dari pemeringkatan 10 besar negara secara global yang memiliki nilai subsidi bahan bakar fosil terbanyak, Indonesia berada di peringkat ke-7, dimana pada tahun sebelumnya (2022), nilai subsidi Indonesia mencapai US$194,12 miliar, yang berasal dari kebutuhan subsidi eksplisit US$78,18 miliar dan subsidi implisit US$115,95 miliar (terhitung untuk nilai bahak bakar fosil yang dibutuhkan secara makro maupun mikro, seperti subsidi bensin, solar, minyak tanah, dan komoditas minyak bumi lainnya, seperti subsidi untuk energi listrik nasional yang rata-rata dikathui berbasis bahan bakar fosil.
Berdasarkan data yang telah disebutkan ini, dapat diperoleh kesimpulan bahwa masalah cadangan minyak ini adalah salah satu yang krusial dan perlu dipertimbangkan untuk ditindak lanjut lebih lagi, oleh semua pihak yang berwenang dan bertanggung jawab di sektor energi. Hal ini bertolak pula dari memperhitungkan implikasi krisis cadangan minyak tersebut di masa mandatang, yang dapat membawa masalah berkelanjutan, tak terkecuali di sektor ekonomi dan lingkungan. Di sektor ekonomi sendiri, beberapa masalah mikro yang dapat mengakar dari krisis minyak nasional (jika benar-benar terjadi) diantaranya adalah pelambatan pertumbuhan ekonomi (dimana terjadi efek jungkat-jungkit/ ketidakstabilan pasokan energi yang dibutuhkan Indonesia sebagai salah satu negara pemakai bahan bakar fosil terbesar secara global). Selain itu, tak menutup kemungkinan pula, bahwa dari ketidakpastian energi yang menghambat pertumbuhan energi tersebut, investor yang sebelumnya berinvestasi akan menarik biayanya sehingga meninggalkan lobang besar dalam perekonomian nasional yang membutuhkan biaya eksternal untuk berkembang. Di lain sisi, secara lingkungan,, degradasi lahan yang berasal dari eksploitasi habis-habisan alam untuk mencari energi baru sebagai pengganti bahan bakar fosil, juga akan membawa efek domino termasuk peruhahan iklim yang ekstrim secara nasional (bahkan tak menutup kemungkinan pula secara global).
Berpotensi namun sukar dieksplorasi. Melansir dari data jumlah cekungan sedimen di Indonesia, diketahui terdapat (kurang lebih) 128 cekungan potensial, dimana 20 diantaranya sudah dieksplorasi (16 % dari Total), sedangkan sisanya, 100 lebih diketahui masih belum digarap, yang artinya secara kuantitatif negara kita masih memiliki cadangan minyak potensial yang cukup besar untuk menjadi pemecah masalah krisis energi di masa mendatang. Namun, hal ini juga tak menutup fakta bahwa 55 % lebih cekungan sedimen yang tak bisa dieksplorasi tersebut, merupakan bukti ketidakmampuan negeri ini untuk mengelola dan memberdayakan potensi energi yang ada. Adapun, penyebab atau factor utamanya adalah kurangnya fasilitas ekplorasi yang diperlukan untuk mengkeploitasi petroleum sistem di cekungan-cekungan tersebut, yang memang sejatinya didominasi terletak di wilayah lautan. Meskipun dalam pernyataan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dikatakan bahwa eksplorasi laut dalam sudah manjadi salah satu fokus pemerintah dalam menemukan cadangan minyak dan gas bumi ke depannya, hal ini tetap tak berimbang dengan ketidakmampuan negara ini dalam menyediakan fasilitas ekplorasi yang memadai untuk mewujudkan visi tersebut. Selain itu titik eksplorasi yang masih belum jelas karena keterbatasan sumber daya yang ada juga menjadi PR besar bagi pemerintah dalam memecahkan krisis energi 8 tahun mendatang. Tak selesai sampai di situ, eksplorasi cekungan lepas pantai ini juga memiliki masalah lain,yaitu dinilai kurang ekonomis, dimana selain mahal, jumlah investor yang tertarik untuk mendanai proyek tersebut juga terbilang masih sedikit.
Melihat banyaknya masalah mikro yang menghambat tercapainya visi penanggulangan krisis minyak nasional, lantas apa yang sudah pemerintah kita lakukan, dan bagaimana seharusnya peran tersebut difungsikan dalam membantu memecahkan masalah ini? Jawabannya, sudah pasti peningkatan dan pembaharuan metode eksplorasi. Memang sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejauh ini, pemerintah kita selalu menaruh beban cadangan minyak nasional dari eksplorasi di Blok Cepu, mengingat besarnya barrel minyak yang disumbangkan dari cekungan tersebut, yang tercatat mencapai 220 ribu bph (10 kali lipat dari awal ditemukannya cekungan tersebut pada 2001 silam). Meski, selama 2 dekade ini, Blok Cepu yang dimanfaatkan sebagai sebagai sumber cadangan minyak terus memberikan suplai bahan bakar fosil yang memupuni untuk pemenuhan infrastruktur dalam negeri, tak ada salahnya pula bagi pemerintah untuk mencari alternatifcekungan lain yang dapat menggantikan Blok Cepu tersebut. Cekungan ini dapat dicari dan dianalisis yang paling berpotensi membawa cadangan minyak jangka panjang, dengan melibatkan tenaga ahli yang ada seperti orang orang kempeten di bidang geofisika dan geologi. Mereka yang ahli secara geofisika dapat membantu memetakan struktur bawah permukaan pada cekungan dengan memanfaatkan data seismik sedangkan ahli geologi dapat membantu menginterpretasikan dan membaca struktur geologi yang divisualisasikan dari data seismic yang ada untuk nantinya diinput ke pihak perusahaan yang dinilai kompeten untuk menangani dan menjalankan proyek eksporasi cekungan minyak tersebut. Selain itu pembaharuan strategi eksplorasi yang memungkinka ekspolitasi cekungan potensial lepas pantai, juga diperlukan untuk memperpanjang umur cadangan minyak nasional. Harus ada penurunan tim ekplorasi yang cukup ahli dalam membantu pemerintah, khususya kementrian ESDM untuk melakukan studi terintergrasi terhadap sisa 55 % cekungan potensial yang belum terpetakan jelas di wilayah Indonesia, sehingga ketika diperoleh data valid, eksplorasi intensif dapat segera dilakukan.
Nah, sebagai seorang geologis, menurut teman-teman, selain solusi yang sudah dijabarkan sebelumnya, apa sih tindakan yang dapat kita lakukan sehingga masalah krisis minyak ini dapat terselesaikan dan negara ini dapat survive dengan cadangan minyak berkelanjutan di 8-10 tahun mendatang